Buruk Rupa Cermin Dibelah
Oleh M. Yasin Marjaya
Seingat saya sampai tahun 90-an, murid-murid di SMP waktu itu, diharuskan oleh guru bahasa Indonesianya untuk menghafal sejumlah pribahasa. Banyak pribahasa yang masih diingat oleh saya sampai saat ini, dan teman-teman saya yang lain juga sangat senang untuk menghafalnya. Waktu itu, guru saya sering membawakan cerita-cerita menarik, kemudian diakhir cerita, guru saya selalu melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan pribahasa yang terkandung pada cerita-cerita tersebut. Teman-teman saya dan saya sendiri sangat antusias untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Masa-masa SMP memang masa di mana kenangan-kenangan indah tak pernah terlupakan. Tidak terkecuali hafalan pribahasa.
Suatu hari, saya dan 4 orang teman saya berkunjung ke Kebun Binatang Ragunan. Waktu itu liburan sekolah. Jam delapan pagi saya dan 4 teman saya sudah tiba di sana. Seingat saya biaya tiket masuk perorang Rp.500,-. Pengunjungnya sangat padat. Suasana semakin panas dengan semakin panasnya cahaya matahari yang sudah semakin siang. Waktu itu, belum ada Sea World, Taman Safari, Dufan yang menampilkan beragam permainan, dan tempat-tempat wisata menarik lainnya. Setiap liburan sekolah dan liburan hari raya, sudah dipastikan Kebun Binatang Ragunan adalah pilihannya.
Di saat padat dan penatnya para pengunjung yang sedang menyaksikan keunikan dan kekhasan dari berbagai macam binatang yang ada di tempat wisata tersebut, saya melihat ada sepasang kekasih yang sedang bergaya di depan kamera. Saya perhatikan sejenak. Oh, ternyata mereka sedang difoto oleh tukang foto yang kesehariannya memang berprofesi sebagai tukang foto di tempat itu. Pekerjaan mereka adalah menawarkan jasa pemotretannya kepada para pengunjung. Yang menariknya, banyak sekali pengunjung yang ingin difoto. Untuk menghilangkan rasa penasaran saya, saya agak mendekat dan ingin mengetahui kenapa sih sebegitu banyak orang yang ingin difoto. Segera saya mendapat jawabannya. Dengan menunggu sekitar satu menit, hasil jepretan si tukang foto sudah bisa dilihat hasilnya. Artinya, foto langsung jadi atau foto otomatis. Di tahun 80-an foto semacam itu masih sangat jarang, bahkan terbilang sulit kita temukan, jika bukan di tempat-tempat tertentu, atau jika bukan di tempat wisata seperti itu. Dulu, jika kita difoto, kita harus menunggu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, dan kebanyakan fotonya hitam putih, jarang sekali yang berwarna.
Melihat cara dan gaya mereka berpakaian, tampaknya sebagian besar pengunjung Ragunan berasal dari perkampungan, termasuk saya. Dengan harga tiket masuk yang cukup murah dan seberapa banyak pengunjung yang masuk tidak dibatasi, tempat wisata yang sangat luas, mungkin itulah yang menjadi alasan kenapa Kebun Binatang Ragunan tiap liburan dijubelin oleh pengunjung. Apalagi mereka bisa difoto langsung jadi, yang pada saat itu sangat berarti, bisa ditunjukin ke tetanga bahwa dia telah berkunjung ke Ragunan. Itu akan menjadi kebanggaan tersendiri.
Si tukang foto terus-menerus melayani pengunjung yang ingin difoto, dengan gaya sekenanya, dengan bidikan kameranya dia bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah dalam sekejap. “ Mumpung liburan, kapan lagi dapet rezeki nomplok kaya gini ”. Mungkin itu, yang ada dipikiran si tukang foto. Menyaksikan kejadian itu, saya dan 4 teman saya ingin juga punya kenangan, seperti mereka. Saya akan tunjukan foto itu ke teman-teman sekolah yang lain pada saat saya masuk sekolah nanti. Selain saya bisa bercerita tentang liburan saya, saya juga bisa tunjukan foto saya yang berwarna itu kepada teman-teman saya.
“ Kita foto yuk , untuk kenang-kenangan ! ”, kata saya kepada teman saya. Tanpa ragu-ragu mereka mengiyakan ajakan saya. “ Bayarnya berapa ?”, tanya salah seorang teman saya. “Kita tanya ajah ! “, kata salah seorang teman saya menimpali. Sambil malu-malu kami berlima mendekati si tukang foto itu. “ Mau difoto dek ?”, Satu lembar 1.000 rupiah, langsung jadi, bagus buat kenang-kenangan !.” Rayu si tukang foto kepada kami. Sejenak kami berembuk, sambil bertanya tentang jumlah uang masing-masing yang kami bawa. Tak lama kemudian kami sepakat untuk berpatungan, masing-masing harus menyerahkan uangnya sebesar Rp. 200,-, karena satu lembar foto seharga Rp. 1.000,-.
Saya harus antri, karena tampaknya masih ada beberapa orang yang ingin difoto. Begitu agak senggang saya mendekat, “ Bang, saya mau difoto, sekali ajah Bang !” kata saya. “ Eluh sendirian ?” tanya si tukang foto. “ Saya sama temen-temen, bang !” jawab saya. “ Ya udah sini, fotonya mau di mana ?” tanya si tukang foto sekenanya. Sambil nyelingak-nyelinguk saya mencari lokasi yang bagus untuk difoto.“ Udah deket kandang gajah ajah, enggak panas lagi !” , kata salah seorang teman saya. Teman-teman saya yang lain mengiyakannya. “ Bang, kita difotonya di deket kandang gajah ajah bang !” kata saya. “ Ya, udah !” jawab tukang foto tampak terburu-buru, yang kayanya masih sibuk melayani orang-orang yang ingin difoto. Seketika kami berlima berbaris, tanpa persiapan apalagi berdadan, tukang foto sudah mengarahkan kameranya. Si tukang foto mulai berhitung ; satu, dua, tiga, cepret bunyi kamera pertanda sudah ditekan. Dengan hitungan detik, keluarlah satu lembar foto lewat kameranya. Kemudian lembaran foto itu dipegang sejenak sambil dikipas-kipas secara hati-hati, agar foto yang tampak basah itu perlahan mengering. Sekitar satu menit kemudian, foto itu diserahkan kepada saya, sambil berpesan kepada saya untuk dikipas-kipaskan sampai fotonya betul-betul kering. Saya serahkan uang sebesar 1.000 rupiah hasil patungan tadi kepada tukang foto sebagai uang jasa karena dia telah memfoto saya. Kami berlima sangat bahagia, karena kami punya kenang-kenangan dan cerita untuk teman-teman kami yang lain di sekolah. Sambil berjalan secara bergantian kami mengipas-ngipaskan foto itu agar fotonya betul-betul kering sebagaimana pesan tukang foto yang disampaikan pada saat setelah foto tadi.
Setelah berfoto, kami melanjutkan perjalanan untuk melihat macam-macam binatang yang jarang kami lihat. Dari macam-macam binatang buas, jinak, lokal, luar negeri, besar, kecil, tinggi, lucu dan sebagainya. Pada saat itu, Kebun Binatang Ragunan adalah tempat wisata favorit. Semua kandang binatang tampak dipadati pengunjung. Benar-benar ramai suasananya. Hari beranjak siang, kaki agak terasa letih, tak terasa sudah berapa jauh perjalanan yang saya lakukan dari satu kandang ke kandang lainnya. Seiring itu pula, perut sudah minta diisi, pertanda waktu makan sudah tiba. “ Kita makan dulu, yuk ! “, kata salah seorang teman.
Kami berhenti sejenak, sambil melihat-lihat tempat yang cocok untuk berisitirahat. “Disana tuh, ada pohon besar, pasti adem !” kata seorang teman. “ Ah kayanya rame banget, cari tempat lain ajah !” kata seorang teman lainnya. “ Ya namanya juga tempat wisata, enggak ada yang sepi, kalau mau sepi yang di kuburan sono ! “ celetuk seorang teman satunya lagi sambil kesal. “Ya udah gimana, kalau di situ ajah ?” tanya saya. Bertiga menjawab setuju, hanya satu yang tampaknya marah. “ Ya udah, gua udah lapar banget nih !”, kata seorang teman yang sudah tak sabar.
Di sekitar area wisata sebenarnya banyak para pedagang yang menjual aneka makanan; gado-gado, ketoprak, bakso, gorengan, lontong, gulai, nasi campur, minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya. Cuma memang harganya agak mahal. Untuk itu, kami bersepakat membawa makanan dari rumah masing-masing, yang kami masukan ke dalam tas. Saya dan teman-teman membawa uang pas-pasan, jadi tidak mungkin kalau harus makan dengan membeli makanan di tempat wisata itu.
Dengan alas sehelai koran, yang di atasnya beratapkan pohon besar dengan daun yang sangat lebat, semriwing angin kesejukan sedikit terasa, menemani waktu istirahat kami. Satu persatu kami mengeluarkan makanan yang kami bawa dari rumah, sambil melirik orang-orang yang ada di sekitar kami, karena memang ada satu dua orang yang memperhatikan kami. Mungkin mereka aneh, kok anak kecil semua. Mana keluarganya. Tanpa ambil pusing, kami mulai menyantap makanan yang kami bawa tadi. Teman saya yang satu itu, makannya sangat lahap sekali, ternyata dia lupa sarapan pagi. Dalam hitungan menit, makanan menghilang dalam sekejap. Bukan disihir, akan tetapi sudah berpindah tempat, dari dalam tas ke dalam perut kami.
Usai makan, sambil duduk-duduk terjadilah obrolan-obrolan ringan yang merupakan kumpulan cerita pengalaman di sekolah. Sedang asyik-asyiknya ngobrol, tiba-tiba salah seorang teman bertanya, “ Mana foto tadi, gua mau lihat ! “ Kebetulan foto itu saya yang menyimpan, kemudian saya keluarkan dari dalam tas saya, dan langsung saya berikan kepada teman saya itu, tanpa melihatnya terlebih dahulu. Saya tidak bisa memperhatikan foto itu, karena posisi duduknya teman saya saling berhadapan. Saya hanya bisa melihat wajah teman saya yang tampaknya sedang melihat sesuatu yang aneh. “ Ada apa ?”, tanya saya. “ Kok, hasilnya begini banget !” jawab teman saya penuh kecewa. Teman-teman saya yang lainnya berebut untuk melihatnya. “ Wah, kalau begini kita dibohongin nih !” sergah seorang teman. Tanpa pikir panjang, kami serentak berdiri. “ Kita cari tukang foto tadi, kita minta ganti !” kata saya.
Dengan gerak cepat, kami berlima menuju ke kandang gajah di mana kami di foto tadi. Kami mondar-mandir kaya setrikaan, enggak ketemu batang hidungnya. “ Eluh ingat enggak, dia pake baju apa ?” tanya seorang teman. “ Eh gua ingat, dia pake jaket warna kuning”, jawab seorangnya lagi. “ Kayanya dia pake topi, bener enggak ?” Saya menambahkan. “Warna topinya biru !” teman saya turut menegaskan. “ Waduh jangan-jangan dia udah pindah tempat ! “ kata saya, sambil nyelingak-nyelinguk. “ Mungkin ajah begitu, yuk kita cari di tempat laen !” bujuk teman saya. “ Ya udah kita coba cari di kandang singa, sebelah sono !” kata saya. Kami berlima seperti detektif yang sedang mengintai penjahat.
Beberapa pengunjung tampak aneh memperhatikan kami berlima, karena mungkin mereka melihat raut wajah kami seperti mencari sesuatu yang hilang. Beberapa kali teman-teman saya menabrak para pengunjung, karena pandangan mereka tidak tertuju pada apa yang di depan mereka, namun lebih kepada pencarian seseorang yang diyakini berjaket kuning dan bertopi biru. Setiap melihat ada seseorang yang berjaket kuning dikejar walaupun kadang jaraknya cukup jauh. Sudah hampir sepuluh kandang binatang kami datangi, belum tampak juga si tukang foto yang kami cari-cari itu. “ Udah dah kita ihlasin ajah, mungkin dia udah pulang !” bujuk teman saya, yang dari wajahnya tampak kelelahan. Pakaian kami berlima sudah basah keringat. Semua muka teman saya memerah, mungkin juga muka saya karena saya tidak bisa melihat wajah saya sendiri, namun dari rasanya cukup panas di sekitar wajah saya. “ Kita istirahat dulu dah, gua udah cape banget nih !” kata teman saya, sambil pegang-pegang lehernya pertanda kehausan.
Sambil bersender di bawah pohon, kami berlima bagi-bagi minum yang memang hanya tinggal satu botol saja. “ Udah kita pulang ajah, sekarang udah jem 4 nih !” bujuk teman saya tampak putus asa. “ Ah eluh cengeng banget sih, kita coba sekali lagi !” protes seorang teman. “Ya udah kita coba lagi, tapi enggak usah jauh-jauh sekitar sini ajah.” pinta seorang teman yang tampaknya ambil jalan tengah. “ Foto ini kan akan kita tunjukin ke temen-temen yang laen, kalau kaya gini mah, kita buang ajah !”seorang teman mengungkapkan kekesalannya . “ Ya udah kita enggak usah lama-lama istirahatnya, yuk kita cari lagi !” kata teman setengah membujuk Satu teman sudah tampak malas-malasan berdiri, karena dia inginnya pulang.
Sekitar setengah jam perjalanan dari tempat istirahat tadi, kami melihat seorang dari kejauhan berjaket kuning dan bertopi biru. Kami bergegas ke sana, namun alangkah kecewanya kami, ternyata yang berpakaian semacam itu, bukan satu atau dua orang saja. Semua tukang foto di sana berseragam seperti itu. Kami dapat informasi dari si tukang foto tersebut. Semakin sulitlah kami mengidentifikasi tukang foto yang kami maksud. Kami harus mencari ciri lain dari si tukang foto itu. “ Udah dah enggak bakalan ketemu, kita pulang ajah !” kata teman saya yang sejak tadi sudah minta pulang. “ Seingat gua, orangnya pendek, kumisan dan kulitnya agak hitam, ya enggak ?” kata teman saya sambil menggerakan tangannya memperagakan bentuk fisik si tukang foto yang dimaksud. “ Yah, eluh betul, eluh inget ajah !”, jawab saya bertiga dengan kompak. “Lihat, sebelah sono tuh, kayanya dia tuh !” kata teman saya yang selalu minta pulang itu. “Kayanya memang dia tuh !” kata saya. ” Hayo cepat ke sono !” kata teman saya yang lain.
Kami berusaha mendekat dan mendekat, namun kami terus saja mengamati wajah si tukang foto itu, untuk meyakinkan kalau dia memang benar-benar yang memfoto kami tadi. Begitu sudah sangat dekat kami berkeyakinan, memang dialah yang tadi memfoto kami, karena kami ingat betul ada satu giginya yang patah alias ompong. Kelihatannya, masih ada satu dua orang yang minta difoto, sehingga kami tidak berani menggangu dia. Kami berlima bersepakat harus menunggu sampai dia benar-benar tidak sedang memfoto. Kurang lebih setengah jam kami menunggu, dan akhirnya tibalah saatnya kami untuk mendekati si tukang foto itu. “ Mau di foto dek, sudah mau tutup nih !” tanya si tukang foto pada kami. “ Kok, dia tidak ingat yah, kalau dia telah memfoto saya.” pikir saya dalam hati. Secara logika memang dia tidak akan ingat dengan orang yang dia foto, karena dalam sehari dia bisa memfoto puluhan bahkan ratusan orang pengunjung dengan suasana padat dan ramai seperti itu.
Dengan perasaan ragu-ragu dan takut saya berlima mendekati si tukang foto itu, “ Bang, tadi siang saya berlima di foto oleh Abang di dekat kandang gajah sebelah sono, Bang !” kata saya dengan suara terbata-bata karena rasa takut. “ Kok, hasilnya kaya begitu Bang !” kata seorang teman saya menambahkan. “ Oh yah, coba sini saya lihat !”, kata tukang foto dengan ramah. “Inikan fotonya sudah bagus, masalahnya apa ?” kata dia untuk menanyakan alasannya. “Kertas fotonya sih sudah kering Bang, tapi wajah-wajah saya kaya begini Bang !” kata saya mengemukakan alasannya. Si tukang foto itu tersenyum mendengar alasan saya. “ Nah, sekarang kamu maunya apa ? “ tanya si tukang foto dengan terus tersenyum. “ Kami minta diulang fotonya Bang !”, kata seorang teman sedikit ngotot. “ Bisa ajah, tapi hasilnya tetap sama!“, kata si tukang foto berusaha meyakinkan. “ Loh, kok tetap sama Bang, memangnya kenapa ?!”tanya seorang teman penasaran. “ Begini ya dek, saya sudah menjadi tukang foto 5 tahun di sini, baru kal ini hasil jepreten saya diprotes !” kata tukang foto menjelaskan dengan amat sabar. “ Lalu bagaimana Bang, supaya hasilnya lebih bagus ?” pinta saya sedikit memaksa. “Saya katakan sekali lagi, walaupun difoto ulang hasilnya tetap sama ! “ kata tukang foto dengan suara agak meninggi.
Kami berlima saling bertatapan sambil bertanya-tanya di dalam hati, kenapa hasilnya tetap sama walaupun difoto ulang. Tukang foto sejenak memperhatikan saya dan teman saya yang sedang bingung mencari alasan kenapa foto itu tetap sama walaupun dijepret ulang. “Adek mau tau jawabannya ?” tanya si tukang foto yang terus menampakan senyum diwajahnya. “Tentu, Bang !” jawab teman saya dengan tangkas. “ Begini ya dek, pengalaman saya, foto itu tergantung siapa yang difoto, kalau yang difotonya ganteng, sudah pasti hasilnyapun ganteng, nah kalau yang difoto orangnya ...” kata tukang foto dengan senyum yang semakin lebar sampai gigi ompongnya tampak terlihat.
Belum selesai tukang foto menjelaskan alasan kenapa hasil foto tetap sama walaupun difoto ulang, kami berlima mundur satu persatu agar tidak mendengar alasan yang selanjutnya yang akan dikemukan oleh si tukang foto itu. Kami tidak sadar foto yang jadi masalah itu kami tinggal di mana, kami betul-betul malu dibuatnya, dengan cara berjalan menunduklah yang kami rasa sangat cocok untuk meninggalkan si tukang foto itu. Rasanya kami ingin berlari, dan cepat hengkang dari tempat wisata itu. Hati kami sangat tertusuk pada saat itu, begitu sederhana alasan yang disampaikan oleh si tukang foto, namun kami berlima tidak berkutik dibuatnya. Saya menggrutu di dalam hati kenapa saya capek-capek mencari tukang foto itu, kalau akhirnya jawaban yang saya peroleh seperti itu. Dari cara dia berbicara, sesungguhnya tukang foto itu tidak mau mengatakan alasan yang sebenarnya jika kami tidak memaksanya. Mungkin dia gemes, nih bocah kok enggak ngerti-ngerti juga.
Kalau saya teringat kejadian itu, saya suka tertawa sendiri. Kalau sedang ada reunian dan ketemu dengan teman-teman itu, mesti kami menceritakan kejadian itu, dan tak sadar suara tawa kami meledak. Paling teman-teman yang lain bilang, “ Ada apa sih, lucu banget !” Mentertawakan diri sendiri memang sewaktu-waktu dibutuhkan, agar kita tidak terbebani dengan kesalahan yang telah kita lakukan. Mentertawakan diri sendiri adalah cara yang paling bijaksana sehingga kita tidak capek-capek mencari alasan kenapa itu bisa terjadi, apalagi sampai cepat-epat memponis adanya campur tangan pihak lain atau istilah kerennya ‘ kambing hitam’. Apalagi, tertawa (red. tidak terbahak-bahak) menurut ahli kesehatan akan menambah atau memperpanjang umur manusia.
Apakah dengan tidak gantengnya kita, kita harus merobek foto yang memang jelas-jelas duplikat wajah kita, atau kita harus merusak kameranya, atau memaki-maki si tukang foto yang kita anggap kurang profesional. Justru dengan pristiwa itulah, kita bisa berkaca diri, untuk melihat dengan arif siapa diri kita. Kita harus belajar untuk berpikir, berkata dan bertindak tidak untuk menyalahkan siapa-siapa. Setiap manusia tidak pernah luput akan kesalahan dan kealfaan, namun seyogyanya pula tidak terus merasa bersalah atau dipersalahkan.
Mentertawakan diri atau mengoreksi tentang kekurangan diri, adalah cara yang paling bijaksana. Dengan begitu, diri kita tidak merasa besar, apalagi sampai membesar-besarkannya. Orang yang selalu membesar-besarkan diri, sangat ingin dan bangga jika dirinya dibesar-besarkan. Perasaan ingin dihormati atau dalam istilahnya gila hormat, dalam beberapa sumber, perbuatan demikian adalah termasuk salah satu penyakit hati. Orang yang mengidap penyakit itu, sering memunculkan sifat keakuannya. Kalau bukan karena saya, hal itu tidak mungkin terjadi.
Orang yang bertipe demikian, cendrung memikirkan untung rugi. Antara perkataan dan perbuatan sering tampak kontras alias berbeda. Manakala menguntungkan pribadinya dia tampil paling depan, sebagai pihak pembela, berteriak paling kencang, terkesan membela pihak lain, tampak rela berkorban, dan tampak sekali sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Namun, manakala kepentingannya terganggu alias membahayakan, dia cepat-cepat cari jalan aman, sibuk mencari alasan, melihat dari kejauhan, menjauhi teman, menjilat atasan, enggan berada di depan, mundur perlahan ke belakang dan pada akhirnya sudah bisa ditebak lempar tanggung jawab. Ini di luar tanggung jawab saya.
Mentertawakan diri atau mengetahui kelemahan diri adalah acara yang paling ampuh untuk melatih diri bertindak cermat dan bijaksana, tidak cepat-cepat menyalahkan pihak lain, apalagi sampai mengorbankannya. Tindakan cermat dan bijaksana yang dilandasi akan kekurangan yang ada pada dirinya, akan terhindar munculnya sifat pengecut atau pecundang. Orang yang berani mengatakan yang benar walapun pahit dirasakan, adalah orang yang tidak takut akan kehilangan kenikmatan dunia, dia akan lebih takut jika harus kehilangan kenikmatan akhirat. Sifat pengecut yang dilandasi kekurangpercayaan diri, rela melakukan apa saja, bohong sana bohong sini, sikut kiri sikut kanan, angkat atas injak bawah, yang penting kepentingan dirinya aman dan tujuan tercapai.
Di atas muka bumi ini, apapun yang terjadi tidak pernah terlepas sedikitpun dari perhatian dan skenario Allah SWT, di ciptakan oleh-Nya ada yang tulus ada yang pamrih, ada yang amanah ada yang khianat, ada yang miskin ada yang kaya, ada yang pintar ada yang awam, rajin malas, cantik jelek, tinggi pendek, besar kecil, pejabat rakyat jelata, banyak sedikit, cepat lambat, baik buruk, suka benci, hitam putih, menarik membosankan, dan lain-lain. Itu semua dimaksudkan agar terjadinya keseimbangan hidup. Tidak ada kata lain, kecuali banyaklah bersyukur. Semua yang terlahir di muka bumi ini, secara fisik sudah terima jadi. Artinya, kalau sudah dilahirkan tidak ganteng atau tidak cantik, yah pasrah itu sudak takdir. Namun secara non-fisik, manusia harus senantiasa memperbaiki sifat, tingkah laku atau kualitas yang ada pada dirinya, terlebih menanamkan sifat-sifat positif ke dalam sanubarinya. Sebagaimana diketahui, di hadapan Allah tingkat ketakwaan seseoranglah yang menjadi ukuran, bukan pada bentuk fisiknya. ( Penulis adalah Guru SMP Islam Al Azhar 4 Kemandoran ).
Oleh M. Yasin Marjaya
Seingat saya sampai tahun 90-an, murid-murid di SMP waktu itu, diharuskan oleh guru bahasa Indonesianya untuk menghafal sejumlah pribahasa. Banyak pribahasa yang masih diingat oleh saya sampai saat ini, dan teman-teman saya yang lain juga sangat senang untuk menghafalnya. Waktu itu, guru saya sering membawakan cerita-cerita menarik, kemudian diakhir cerita, guru saya selalu melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan pribahasa yang terkandung pada cerita-cerita tersebut. Teman-teman saya dan saya sendiri sangat antusias untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Masa-masa SMP memang masa di mana kenangan-kenangan indah tak pernah terlupakan. Tidak terkecuali hafalan pribahasa.
Suatu hari, saya dan 4 orang teman saya berkunjung ke Kebun Binatang Ragunan. Waktu itu liburan sekolah. Jam delapan pagi saya dan 4 teman saya sudah tiba di sana. Seingat saya biaya tiket masuk perorang Rp.500,-. Pengunjungnya sangat padat. Suasana semakin panas dengan semakin panasnya cahaya matahari yang sudah semakin siang. Waktu itu, belum ada Sea World, Taman Safari, Dufan yang menampilkan beragam permainan, dan tempat-tempat wisata menarik lainnya. Setiap liburan sekolah dan liburan hari raya, sudah dipastikan Kebun Binatang Ragunan adalah pilihannya.
Di saat padat dan penatnya para pengunjung yang sedang menyaksikan keunikan dan kekhasan dari berbagai macam binatang yang ada di tempat wisata tersebut, saya melihat ada sepasang kekasih yang sedang bergaya di depan kamera. Saya perhatikan sejenak. Oh, ternyata mereka sedang difoto oleh tukang foto yang kesehariannya memang berprofesi sebagai tukang foto di tempat itu. Pekerjaan mereka adalah menawarkan jasa pemotretannya kepada para pengunjung. Yang menariknya, banyak sekali pengunjung yang ingin difoto. Untuk menghilangkan rasa penasaran saya, saya agak mendekat dan ingin mengetahui kenapa sih sebegitu banyak orang yang ingin difoto. Segera saya mendapat jawabannya. Dengan menunggu sekitar satu menit, hasil jepretan si tukang foto sudah bisa dilihat hasilnya. Artinya, foto langsung jadi atau foto otomatis. Di tahun 80-an foto semacam itu masih sangat jarang, bahkan terbilang sulit kita temukan, jika bukan di tempat-tempat tertentu, atau jika bukan di tempat wisata seperti itu. Dulu, jika kita difoto, kita harus menunggu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, dan kebanyakan fotonya hitam putih, jarang sekali yang berwarna.
Melihat cara dan gaya mereka berpakaian, tampaknya sebagian besar pengunjung Ragunan berasal dari perkampungan, termasuk saya. Dengan harga tiket masuk yang cukup murah dan seberapa banyak pengunjung yang masuk tidak dibatasi, tempat wisata yang sangat luas, mungkin itulah yang menjadi alasan kenapa Kebun Binatang Ragunan tiap liburan dijubelin oleh pengunjung. Apalagi mereka bisa difoto langsung jadi, yang pada saat itu sangat berarti, bisa ditunjukin ke tetanga bahwa dia telah berkunjung ke Ragunan. Itu akan menjadi kebanggaan tersendiri.
Si tukang foto terus-menerus melayani pengunjung yang ingin difoto, dengan gaya sekenanya, dengan bidikan kameranya dia bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah dalam sekejap. “ Mumpung liburan, kapan lagi dapet rezeki nomplok kaya gini ”. Mungkin itu, yang ada dipikiran si tukang foto. Menyaksikan kejadian itu, saya dan 4 teman saya ingin juga punya kenangan, seperti mereka. Saya akan tunjukan foto itu ke teman-teman sekolah yang lain pada saat saya masuk sekolah nanti. Selain saya bisa bercerita tentang liburan saya, saya juga bisa tunjukan foto saya yang berwarna itu kepada teman-teman saya.
“ Kita foto yuk , untuk kenang-kenangan ! ”, kata saya kepada teman saya. Tanpa ragu-ragu mereka mengiyakan ajakan saya. “ Bayarnya berapa ?”, tanya salah seorang teman saya. “Kita tanya ajah ! “, kata salah seorang teman saya menimpali. Sambil malu-malu kami berlima mendekati si tukang foto itu. “ Mau difoto dek ?”, Satu lembar 1.000 rupiah, langsung jadi, bagus buat kenang-kenangan !.” Rayu si tukang foto kepada kami. Sejenak kami berembuk, sambil bertanya tentang jumlah uang masing-masing yang kami bawa. Tak lama kemudian kami sepakat untuk berpatungan, masing-masing harus menyerahkan uangnya sebesar Rp. 200,-, karena satu lembar foto seharga Rp. 1.000,-.
Saya harus antri, karena tampaknya masih ada beberapa orang yang ingin difoto. Begitu agak senggang saya mendekat, “ Bang, saya mau difoto, sekali ajah Bang !” kata saya. “ Eluh sendirian ?” tanya si tukang foto. “ Saya sama temen-temen, bang !” jawab saya. “ Ya udah sini, fotonya mau di mana ?” tanya si tukang foto sekenanya. Sambil nyelingak-nyelinguk saya mencari lokasi yang bagus untuk difoto.“ Udah deket kandang gajah ajah, enggak panas lagi !” , kata salah seorang teman saya. Teman-teman saya yang lain mengiyakannya. “ Bang, kita difotonya di deket kandang gajah ajah bang !” kata saya. “ Ya, udah !” jawab tukang foto tampak terburu-buru, yang kayanya masih sibuk melayani orang-orang yang ingin difoto. Seketika kami berlima berbaris, tanpa persiapan apalagi berdadan, tukang foto sudah mengarahkan kameranya. Si tukang foto mulai berhitung ; satu, dua, tiga, cepret bunyi kamera pertanda sudah ditekan. Dengan hitungan detik, keluarlah satu lembar foto lewat kameranya. Kemudian lembaran foto itu dipegang sejenak sambil dikipas-kipas secara hati-hati, agar foto yang tampak basah itu perlahan mengering. Sekitar satu menit kemudian, foto itu diserahkan kepada saya, sambil berpesan kepada saya untuk dikipas-kipaskan sampai fotonya betul-betul kering. Saya serahkan uang sebesar 1.000 rupiah hasil patungan tadi kepada tukang foto sebagai uang jasa karena dia telah memfoto saya. Kami berlima sangat bahagia, karena kami punya kenang-kenangan dan cerita untuk teman-teman kami yang lain di sekolah. Sambil berjalan secara bergantian kami mengipas-ngipaskan foto itu agar fotonya betul-betul kering sebagaimana pesan tukang foto yang disampaikan pada saat setelah foto tadi.
Setelah berfoto, kami melanjutkan perjalanan untuk melihat macam-macam binatang yang jarang kami lihat. Dari macam-macam binatang buas, jinak, lokal, luar negeri, besar, kecil, tinggi, lucu dan sebagainya. Pada saat itu, Kebun Binatang Ragunan adalah tempat wisata favorit. Semua kandang binatang tampak dipadati pengunjung. Benar-benar ramai suasananya. Hari beranjak siang, kaki agak terasa letih, tak terasa sudah berapa jauh perjalanan yang saya lakukan dari satu kandang ke kandang lainnya. Seiring itu pula, perut sudah minta diisi, pertanda waktu makan sudah tiba. “ Kita makan dulu, yuk ! “, kata salah seorang teman.
Kami berhenti sejenak, sambil melihat-lihat tempat yang cocok untuk berisitirahat. “Disana tuh, ada pohon besar, pasti adem !” kata seorang teman. “ Ah kayanya rame banget, cari tempat lain ajah !” kata seorang teman lainnya. “ Ya namanya juga tempat wisata, enggak ada yang sepi, kalau mau sepi yang di kuburan sono ! “ celetuk seorang teman satunya lagi sambil kesal. “Ya udah gimana, kalau di situ ajah ?” tanya saya. Bertiga menjawab setuju, hanya satu yang tampaknya marah. “ Ya udah, gua udah lapar banget nih !”, kata seorang teman yang sudah tak sabar.
Di sekitar area wisata sebenarnya banyak para pedagang yang menjual aneka makanan; gado-gado, ketoprak, bakso, gorengan, lontong, gulai, nasi campur, minuman, buah-buahan, dan makanan kecil lainnya. Cuma memang harganya agak mahal. Untuk itu, kami bersepakat membawa makanan dari rumah masing-masing, yang kami masukan ke dalam tas. Saya dan teman-teman membawa uang pas-pasan, jadi tidak mungkin kalau harus makan dengan membeli makanan di tempat wisata itu.
Dengan alas sehelai koran, yang di atasnya beratapkan pohon besar dengan daun yang sangat lebat, semriwing angin kesejukan sedikit terasa, menemani waktu istirahat kami. Satu persatu kami mengeluarkan makanan yang kami bawa dari rumah, sambil melirik orang-orang yang ada di sekitar kami, karena memang ada satu dua orang yang memperhatikan kami. Mungkin mereka aneh, kok anak kecil semua. Mana keluarganya. Tanpa ambil pusing, kami mulai menyantap makanan yang kami bawa tadi. Teman saya yang satu itu, makannya sangat lahap sekali, ternyata dia lupa sarapan pagi. Dalam hitungan menit, makanan menghilang dalam sekejap. Bukan disihir, akan tetapi sudah berpindah tempat, dari dalam tas ke dalam perut kami.
Usai makan, sambil duduk-duduk terjadilah obrolan-obrolan ringan yang merupakan kumpulan cerita pengalaman di sekolah. Sedang asyik-asyiknya ngobrol, tiba-tiba salah seorang teman bertanya, “ Mana foto tadi, gua mau lihat ! “ Kebetulan foto itu saya yang menyimpan, kemudian saya keluarkan dari dalam tas saya, dan langsung saya berikan kepada teman saya itu, tanpa melihatnya terlebih dahulu. Saya tidak bisa memperhatikan foto itu, karena posisi duduknya teman saya saling berhadapan. Saya hanya bisa melihat wajah teman saya yang tampaknya sedang melihat sesuatu yang aneh. “ Ada apa ?”, tanya saya. “ Kok, hasilnya begini banget !” jawab teman saya penuh kecewa. Teman-teman saya yang lainnya berebut untuk melihatnya. “ Wah, kalau begini kita dibohongin nih !” sergah seorang teman. Tanpa pikir panjang, kami serentak berdiri. “ Kita cari tukang foto tadi, kita minta ganti !” kata saya.
Dengan gerak cepat, kami berlima menuju ke kandang gajah di mana kami di foto tadi. Kami mondar-mandir kaya setrikaan, enggak ketemu batang hidungnya. “ Eluh ingat enggak, dia pake baju apa ?” tanya seorang teman. “ Eh gua ingat, dia pake jaket warna kuning”, jawab seorangnya lagi. “ Kayanya dia pake topi, bener enggak ?” Saya menambahkan. “Warna topinya biru !” teman saya turut menegaskan. “ Waduh jangan-jangan dia udah pindah tempat ! “ kata saya, sambil nyelingak-nyelinguk. “ Mungkin ajah begitu, yuk kita cari di tempat laen !” bujuk teman saya. “ Ya udah kita coba cari di kandang singa, sebelah sono !” kata saya. Kami berlima seperti detektif yang sedang mengintai penjahat.
Beberapa pengunjung tampak aneh memperhatikan kami berlima, karena mungkin mereka melihat raut wajah kami seperti mencari sesuatu yang hilang. Beberapa kali teman-teman saya menabrak para pengunjung, karena pandangan mereka tidak tertuju pada apa yang di depan mereka, namun lebih kepada pencarian seseorang yang diyakini berjaket kuning dan bertopi biru. Setiap melihat ada seseorang yang berjaket kuning dikejar walaupun kadang jaraknya cukup jauh. Sudah hampir sepuluh kandang binatang kami datangi, belum tampak juga si tukang foto yang kami cari-cari itu. “ Udah dah kita ihlasin ajah, mungkin dia udah pulang !” bujuk teman saya, yang dari wajahnya tampak kelelahan. Pakaian kami berlima sudah basah keringat. Semua muka teman saya memerah, mungkin juga muka saya karena saya tidak bisa melihat wajah saya sendiri, namun dari rasanya cukup panas di sekitar wajah saya. “ Kita istirahat dulu dah, gua udah cape banget nih !” kata teman saya, sambil pegang-pegang lehernya pertanda kehausan.
Sambil bersender di bawah pohon, kami berlima bagi-bagi minum yang memang hanya tinggal satu botol saja. “ Udah kita pulang ajah, sekarang udah jem 4 nih !” bujuk teman saya tampak putus asa. “ Ah eluh cengeng banget sih, kita coba sekali lagi !” protes seorang teman. “Ya udah kita coba lagi, tapi enggak usah jauh-jauh sekitar sini ajah.” pinta seorang teman yang tampaknya ambil jalan tengah. “ Foto ini kan akan kita tunjukin ke temen-temen yang laen, kalau kaya gini mah, kita buang ajah !”seorang teman mengungkapkan kekesalannya . “ Ya udah kita enggak usah lama-lama istirahatnya, yuk kita cari lagi !” kata teman setengah membujuk Satu teman sudah tampak malas-malasan berdiri, karena dia inginnya pulang.
Sekitar setengah jam perjalanan dari tempat istirahat tadi, kami melihat seorang dari kejauhan berjaket kuning dan bertopi biru. Kami bergegas ke sana, namun alangkah kecewanya kami, ternyata yang berpakaian semacam itu, bukan satu atau dua orang saja. Semua tukang foto di sana berseragam seperti itu. Kami dapat informasi dari si tukang foto tersebut. Semakin sulitlah kami mengidentifikasi tukang foto yang kami maksud. Kami harus mencari ciri lain dari si tukang foto itu. “ Udah dah enggak bakalan ketemu, kita pulang ajah !” kata teman saya yang sejak tadi sudah minta pulang. “ Seingat gua, orangnya pendek, kumisan dan kulitnya agak hitam, ya enggak ?” kata teman saya sambil menggerakan tangannya memperagakan bentuk fisik si tukang foto yang dimaksud. “ Yah, eluh betul, eluh inget ajah !”, jawab saya bertiga dengan kompak. “Lihat, sebelah sono tuh, kayanya dia tuh !” kata teman saya yang selalu minta pulang itu. “Kayanya memang dia tuh !” kata saya. ” Hayo cepat ke sono !” kata teman saya yang lain.
Kami berusaha mendekat dan mendekat, namun kami terus saja mengamati wajah si tukang foto itu, untuk meyakinkan kalau dia memang benar-benar yang memfoto kami tadi. Begitu sudah sangat dekat kami berkeyakinan, memang dialah yang tadi memfoto kami, karena kami ingat betul ada satu giginya yang patah alias ompong. Kelihatannya, masih ada satu dua orang yang minta difoto, sehingga kami tidak berani menggangu dia. Kami berlima bersepakat harus menunggu sampai dia benar-benar tidak sedang memfoto. Kurang lebih setengah jam kami menunggu, dan akhirnya tibalah saatnya kami untuk mendekati si tukang foto itu. “ Mau di foto dek, sudah mau tutup nih !” tanya si tukang foto pada kami. “ Kok, dia tidak ingat yah, kalau dia telah memfoto saya.” pikir saya dalam hati. Secara logika memang dia tidak akan ingat dengan orang yang dia foto, karena dalam sehari dia bisa memfoto puluhan bahkan ratusan orang pengunjung dengan suasana padat dan ramai seperti itu.
Dengan perasaan ragu-ragu dan takut saya berlima mendekati si tukang foto itu, “ Bang, tadi siang saya berlima di foto oleh Abang di dekat kandang gajah sebelah sono, Bang !” kata saya dengan suara terbata-bata karena rasa takut. “ Kok, hasilnya kaya begitu Bang !” kata seorang teman saya menambahkan. “ Oh yah, coba sini saya lihat !”, kata tukang foto dengan ramah. “Inikan fotonya sudah bagus, masalahnya apa ?” kata dia untuk menanyakan alasannya. “Kertas fotonya sih sudah kering Bang, tapi wajah-wajah saya kaya begini Bang !” kata saya mengemukakan alasannya. Si tukang foto itu tersenyum mendengar alasan saya. “ Nah, sekarang kamu maunya apa ? “ tanya si tukang foto dengan terus tersenyum. “ Kami minta diulang fotonya Bang !”, kata seorang teman sedikit ngotot. “ Bisa ajah, tapi hasilnya tetap sama!“, kata si tukang foto berusaha meyakinkan. “ Loh, kok tetap sama Bang, memangnya kenapa ?!”tanya seorang teman penasaran. “ Begini ya dek, saya sudah menjadi tukang foto 5 tahun di sini, baru kal ini hasil jepreten saya diprotes !” kata tukang foto menjelaskan dengan amat sabar. “ Lalu bagaimana Bang, supaya hasilnya lebih bagus ?” pinta saya sedikit memaksa. “Saya katakan sekali lagi, walaupun difoto ulang hasilnya tetap sama ! “ kata tukang foto dengan suara agak meninggi.
Kami berlima saling bertatapan sambil bertanya-tanya di dalam hati, kenapa hasilnya tetap sama walaupun difoto ulang. Tukang foto sejenak memperhatikan saya dan teman saya yang sedang bingung mencari alasan kenapa foto itu tetap sama walaupun dijepret ulang. “Adek mau tau jawabannya ?” tanya si tukang foto yang terus menampakan senyum diwajahnya. “Tentu, Bang !” jawab teman saya dengan tangkas. “ Begini ya dek, pengalaman saya, foto itu tergantung siapa yang difoto, kalau yang difotonya ganteng, sudah pasti hasilnyapun ganteng, nah kalau yang difoto orangnya ...” kata tukang foto dengan senyum yang semakin lebar sampai gigi ompongnya tampak terlihat.
Belum selesai tukang foto menjelaskan alasan kenapa hasil foto tetap sama walaupun difoto ulang, kami berlima mundur satu persatu agar tidak mendengar alasan yang selanjutnya yang akan dikemukan oleh si tukang foto itu. Kami tidak sadar foto yang jadi masalah itu kami tinggal di mana, kami betul-betul malu dibuatnya, dengan cara berjalan menunduklah yang kami rasa sangat cocok untuk meninggalkan si tukang foto itu. Rasanya kami ingin berlari, dan cepat hengkang dari tempat wisata itu. Hati kami sangat tertusuk pada saat itu, begitu sederhana alasan yang disampaikan oleh si tukang foto, namun kami berlima tidak berkutik dibuatnya. Saya menggrutu di dalam hati kenapa saya capek-capek mencari tukang foto itu, kalau akhirnya jawaban yang saya peroleh seperti itu. Dari cara dia berbicara, sesungguhnya tukang foto itu tidak mau mengatakan alasan yang sebenarnya jika kami tidak memaksanya. Mungkin dia gemes, nih bocah kok enggak ngerti-ngerti juga.
Kalau saya teringat kejadian itu, saya suka tertawa sendiri. Kalau sedang ada reunian dan ketemu dengan teman-teman itu, mesti kami menceritakan kejadian itu, dan tak sadar suara tawa kami meledak. Paling teman-teman yang lain bilang, “ Ada apa sih, lucu banget !” Mentertawakan diri sendiri memang sewaktu-waktu dibutuhkan, agar kita tidak terbebani dengan kesalahan yang telah kita lakukan. Mentertawakan diri sendiri adalah cara yang paling bijaksana sehingga kita tidak capek-capek mencari alasan kenapa itu bisa terjadi, apalagi sampai cepat-epat memponis adanya campur tangan pihak lain atau istilah kerennya ‘ kambing hitam’. Apalagi, tertawa (red. tidak terbahak-bahak) menurut ahli kesehatan akan menambah atau memperpanjang umur manusia.
Apakah dengan tidak gantengnya kita, kita harus merobek foto yang memang jelas-jelas duplikat wajah kita, atau kita harus merusak kameranya, atau memaki-maki si tukang foto yang kita anggap kurang profesional. Justru dengan pristiwa itulah, kita bisa berkaca diri, untuk melihat dengan arif siapa diri kita. Kita harus belajar untuk berpikir, berkata dan bertindak tidak untuk menyalahkan siapa-siapa. Setiap manusia tidak pernah luput akan kesalahan dan kealfaan, namun seyogyanya pula tidak terus merasa bersalah atau dipersalahkan.
Mentertawakan diri atau mengoreksi tentang kekurangan diri, adalah cara yang paling bijaksana. Dengan begitu, diri kita tidak merasa besar, apalagi sampai membesar-besarkannya. Orang yang selalu membesar-besarkan diri, sangat ingin dan bangga jika dirinya dibesar-besarkan. Perasaan ingin dihormati atau dalam istilahnya gila hormat, dalam beberapa sumber, perbuatan demikian adalah termasuk salah satu penyakit hati. Orang yang mengidap penyakit itu, sering memunculkan sifat keakuannya. Kalau bukan karena saya, hal itu tidak mungkin terjadi.
Orang yang bertipe demikian, cendrung memikirkan untung rugi. Antara perkataan dan perbuatan sering tampak kontras alias berbeda. Manakala menguntungkan pribadinya dia tampil paling depan, sebagai pihak pembela, berteriak paling kencang, terkesan membela pihak lain, tampak rela berkorban, dan tampak sekali sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Namun, manakala kepentingannya terganggu alias membahayakan, dia cepat-cepat cari jalan aman, sibuk mencari alasan, melihat dari kejauhan, menjauhi teman, menjilat atasan, enggan berada di depan, mundur perlahan ke belakang dan pada akhirnya sudah bisa ditebak lempar tanggung jawab. Ini di luar tanggung jawab saya.
Mentertawakan diri atau mengetahui kelemahan diri adalah acara yang paling ampuh untuk melatih diri bertindak cermat dan bijaksana, tidak cepat-cepat menyalahkan pihak lain, apalagi sampai mengorbankannya. Tindakan cermat dan bijaksana yang dilandasi akan kekurangan yang ada pada dirinya, akan terhindar munculnya sifat pengecut atau pecundang. Orang yang berani mengatakan yang benar walapun pahit dirasakan, adalah orang yang tidak takut akan kehilangan kenikmatan dunia, dia akan lebih takut jika harus kehilangan kenikmatan akhirat. Sifat pengecut yang dilandasi kekurangpercayaan diri, rela melakukan apa saja, bohong sana bohong sini, sikut kiri sikut kanan, angkat atas injak bawah, yang penting kepentingan dirinya aman dan tujuan tercapai.
Di atas muka bumi ini, apapun yang terjadi tidak pernah terlepas sedikitpun dari perhatian dan skenario Allah SWT, di ciptakan oleh-Nya ada yang tulus ada yang pamrih, ada yang amanah ada yang khianat, ada yang miskin ada yang kaya, ada yang pintar ada yang awam, rajin malas, cantik jelek, tinggi pendek, besar kecil, pejabat rakyat jelata, banyak sedikit, cepat lambat, baik buruk, suka benci, hitam putih, menarik membosankan, dan lain-lain. Itu semua dimaksudkan agar terjadinya keseimbangan hidup. Tidak ada kata lain, kecuali banyaklah bersyukur. Semua yang terlahir di muka bumi ini, secara fisik sudah terima jadi. Artinya, kalau sudah dilahirkan tidak ganteng atau tidak cantik, yah pasrah itu sudak takdir. Namun secara non-fisik, manusia harus senantiasa memperbaiki sifat, tingkah laku atau kualitas yang ada pada dirinya, terlebih menanamkan sifat-sifat positif ke dalam sanubarinya. Sebagaimana diketahui, di hadapan Allah tingkat ketakwaan seseoranglah yang menjadi ukuran, bukan pada bentuk fisiknya. ( Penulis adalah Guru SMP Islam Al Azhar 4 Kemandoran ).