Si Duleh Sang Pemimpin
Oleh : Yasin ABetA
SMP Islam Al Azhar 4 Kemandoran
Artikel yang berada di hadapan pembaca saat ini adalah sebuah kisah jenaka yang diangkat dari cerita piktif, sungguh merupakan karya iseng dan spontan, manakala penulis berada di depan komputernya, tak terasa tangan digerakkan, terciptalah seonggok kisah sederhana ini.
Karena ketidakadabiayaan, sungguh sial nasib pemuda Betawi yang tinggal di pelosok paling selatan kota Jakarta, tepatnya di desa Aduhai, Kecamatan Mesem, tidak jauh dari rumah Kepala Desa, Haji Udin namanya, harus berhenti sekolah alias drop out kata orang sekarang. Sebenarnya dia terbilang anak yang patuh, rajin dan sedikit cerdas, terbukti dia selalu pergi mengaji setiap habis maghrib, suka membantu orang tuanya bekerja dan tidak pernah tinggal kelas.
Si Duleh terlahir dari 9 bersaudara. Dia adalah anak tertua. “ Kenapa orang tua gua enggak ikut KB?” “ Apa dia takut dosa atau dia pikir banyak anak banyak rejeki ?” tanya si Duleh dalam hatinya. “ Andai gua hanya dua bersaudara, mungkin nasib gua enggak seperti ini.” si Duleh menggerutu.
Cita-cita si Duleh kayanya sih enggak muluk-muluk. Dia hanya ingin jadi orang yang berguna bagi keluarga dan agamanya. Itulah jawaban yang diberikan seketika salah seorang temannya bertanya tentang cita-citanya. Jawabannya sangat standar kalau kata orang pinter. Kenapa cita-citanya enggak ditambah agar berguna untuk masyarakat, bangsa dan negaranya. Ya, seperti anak-anak lain kalau ditanya tentang cita-citanya, dijawab dengan lengkap agar berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara. “ Cita-cita begitu aja, belum tentu tercapai apalagi dipanjangin kaya gitu, makin susah aja ! “ celetuk si Duleh. “Cita-cita panjang dan lengkap sih boleh aja, tapi sama aja kita naruh bintang di langit ke tujuh”. “Bayangin coba, sulit kan ?” komentar si Duleh.
Si Duleh memang orang yang tahu diri. Dia tidak bercita-cita menjadi dokter, insinyur, pilot, tentara, manager, direktur, mentri apalagi presiden. “ Sehat dan panjang umur aja, udah Alhamdulillah.” “ Gua makan sering mutih, yaitu nasi putih dan air putih doang.” keluh si Duleh. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang sangat pas-pasan atau bisa terbilang keluarga yang layak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai yang dicanangkan pemerintah belakangan ini, sangatlah mustahil bercita-cita seperti yang disebutkan di atas. “ Makan singkong beneran rasanya jauh lebih enak dibanding makan roti, mimpi.” si Duleh mencoba berfalsafah.
Mengecam pendidikan sampai kelas 2 SMA, rupanya menjadi bekal yang sangat berharga untuk bergaul dengan teman sebayanya bila bercerita bagaimana suka dukanya kehidupan di sekolah. Sebenarnya, si Duleh tidak begitu suka mendengar gosip-gosip percintaan apalagi cerita-cerita yang berbau kemewahan yang sangat disukai oleh kebanyakan orang seusianya.. Dia lebih suka mendengarkan berita-berita politik., tidak seperti teman-teman seangkatannya yang lebih suka bercerita tentang indahnya masa remaja. Oleh karena itu, si Duleh lebih sering nongkrong bersama orang-orang yang usianya jauh lebih tua dari dia.
Kalau si Duleh sedang bercerita tentang perkembangan politik yang sedang in, sepertingya kita sedang berhadapan dengan Andy Malarangeng, seorang jubir presiden itu loh. Orangnya ganteng ditambah lagi dengan kumis hitamnya yang tebal dan konon sangat disukai oleh artis Dorce Gamalama. Ya, begitulah si Duleh. Kalau dia mulai bicara politik, seharian dia jabanin. Gaya bicaranya mantep, dibumbui dengan dalil-dalil teori yang sangat argumentatif. Ketika mendengar dia berbicara benar-benar terkesima dibuatnya. Kalau anak sekarang bilang titik komanya jelas banget.
Si Duleh memang pemuda yang aneh. Begitu banyak informasi politik yang masuk ke kapalanya. Mungkin inilah kelebihannya, dia bisa mendapatkan informasi begitu banyak sedangkan sekolah aja enggak selesai, apalagi sampai jadi mahasiswa. Di samping itu dia juga tidak pernah berlangganan koran. Televisi apalagi, wong makan sehari-hari saja jarang pakai lauk. Kecuali radio butut yang selalu menemani pada saat kesendiriannya. Kesehariannya, dia habiskan untuk ngobrol dari satu tempat ke tempat lainnya. Tongkrongan tetapnya di kios koran yang berada tidak jauh dari rumahnya. Di tempat itulah, dia habiskan waktunya dengan membaca berbagai jenis koran dan majalah. Bang Udin, si empunya kios koran sangat senang bila si Duleh berada bersamanya. “ Satu hari saja si Duleh enggak dateng, sepertinya ada yang kurang .” kata Bang Udin.
Sebenarnya si Duleh ingin bekerja, tetapi siapa yang mau terima. Dia hanya punya ijazah SMP doang. Pengalaman kerja belum ada. Koneksi, apalagi uang untuk pelicin boro-boro. Hidupnya memang sangat memprihatinkan. Bapaknya pekerja serabutan, kadang kerja kadang enggak. Lebih banyak enggaknya kebanding kerjanya. Ibunya sakit-sakitan. Namun demikian, pada saat ibunya sehat sekali-kali ibunya kuli mencuci di rumah kampung sebelah untuk menutupi sebagian kecil kebutuhan keluarganya.
Si Duleh bukanlah satu-satunya keluarga yang mengalami nasib kurang beruntung, akan tetapi masih ada jutaan keluarga lainnya yang nasibnya seperti dia. Si Duleh tidak pernah neko-neko. Orangnya sangat jujur dan tidak minder. Dia jalani hidupnya seperti mengalirnya air. Sifat air adalah selalu mencari tempat yang lebih rendah. Dia selalu bersyukur dengan apa yang dia dapatkan. Tampaknya, karunia sehat yang selama ini dianugerahkan oleh-Nya sudah cukup buat dia dan keluarganya. Bukan berarti si Duleh tidak membutuhkan materi. “ Buat apa harta berlimpah kalau badan enggak sehat ?” si Duleh coba menghibur.
Si Duleh sangat aktif dalam setiap kegiatan di desanya. Kerja bakti membersihkan got, membangun jalan, membangun musholla, perayaan tujuh belasan, sampai perayaan keagamaan, semisal ; Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Lebaran Yatim, Nuzulul Qur’an, peranan si Duleh sangatlah menonjol. Sumbangan pemikiran dan tenaga, si Duleh lah orangnya. Namun, urusan sumbangan materi, jangan ditanya. Bukan karena kikir alias pelit, memang itulah kelemahan si Duleh. “ Bersedekah enggak mesti dalam bentuk harta, akan tetapi bisa dalam betuk tenaga, pikiran bahkan senyum terhadap saudaramu, itu sudah termasuk bersedekah.” Si Duleh berusaha mengutip perkataan ustadz di pengajian bulan lalu.
Saat ini si Duleh sedang sibuk mendata warga yang layak menerima Raskin kepanjangan dari beras miskin dan mendata ulang warga yang layak mendapatkan BLT alias Bantuan Langsung Tunai. Dengan kenaikan harga BBM sekitar 28 persen lebih, tak hayal jumlah penduduk miskin di desa dimana si Duleh tinggal mengalami penambahan jumlah yang cukup signifikan. Pemerintah menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk hidup hemat. “ Badan kita udah kurus, lalu disuruh kencangkan ikat pinggang, mau jadi apa kita ini?” si Duleh coba membantah.
Pendistribusian Raskin di desa si Duleh belakangan ini, mengalami ketidaklancaran alias enggak beres. Kejadian itu sudah tercium oleh petugas yang memantau secara langsung ke desa-desa dengan melakukan dialog pada setiap warga yang tercatat sebagai warga yang terdaftar untuk menerima Raskin. Ada warga yang menerima Raskin setiap bulan, dua bulan, tiga bulan, bahkan ada yang terima baru sekali. Demikian pula pendistribusian BLT, warga yang sebenarnya tidak layak, diberikan, sementara yang sangat layak tidak diberikan. “ Yang tidak layak itu, kebanyakan dari keluarganya pak RT.” “ Itu sih namanya, KKN ?” Bang Somad nyeletuk.
Akibat kejadian itu, seluruh kepala desa diundang ke kantor kecamatan. H. Udin kepala desa dimana si Duleh tinggal, tak terkecuali. Pakades datang ke kacamatan didampingi oleh Sekdes karena dialah yang tahu percis dan mencatat segala tetek bengek laporan yang terjadi di desanya. Dari data-data yang dikumpulkan oleh petugas tentang pendistribusian Raskin dan BLT dari seluruh desa penerima program tersebut, ditemukan kejanggalan. H. Udin sangat sok, kalau di desanya juga ditemukan laporan yang dibelokan alias tidak sesuai dengan kenyataan. Jumlah uang yang dikuncurkan selama ini tidak sesuai dengan pendistribusian. Datanya Aspal, asli tapi palsu. Mungkin kalau kata Sri Mulyani yang mentri keuangan itu, “ terjadi mark up.”
H. Udin yang sudah 3 kali bolak-balik Mekah, harus kecewa pada bawahannya yang selama ini ABS, Asal Bapak Senang. Setiap laporan yang ada di atas mejanya langsung ditandatangani tanpa harus membaca terlebih dahulu. Setelah rapat di kecamatan usai, dengan wajah memerah H. Udin menghampiri Sekdesnya. “ Kenapa bisa terjadi seperti ini?” “ Eluh bener-bener mau kejeblosin gua ke penjara !” “ Mau taroh di mana muka gua ?” H . Udin terus memaki. Cekcok omong terus berlangsung sampai perjalanan pulang mereka. Mereka hanya berdua di dalam mobil, H. Udin dan Sekdesnya sehingga tidak ada penengah.
Mobil yang dikendarai oleh Sekdes dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba oleng tidak terkendali. Dalam keadaan emosi injakan gas tidak terkontrol, demikian pula posisi stir yang tidak karuan. Dari arah berlawan muncul truk gandeng membawa ratusan sack semen yang beratnya ratusan ton. Bisa dibayangkan apa yang terjadi. Masya Allah, terjadilah kecelakaan yang sangat mengerikan. H. Udin dan Sekdesnya seketika menemui ajalnya. Mereka menemui Sang Penciptanya dengan cara yang mengenaskan. Mobilnya hancur tak berbentuk. Itulah takdir, tak satupun mahluk di dunia ini tahu dan mampu untuk menolaknya. Semua itu sudah keputusan Allah. Kita hanya bisa berdoa semoga diakhir hayat kita dalam keadaan khusnul khotimah. Amin.
Tak berselang lama, kabar tentang kecelakaan yang menimpa H. Udin dan Sekdesnya menyebar ke seluruh penduduk desa. Di kantor desa dan di rumah kepala desa ramai oleh para penduduk desa yang sedang menanti datangnya jenazah mereka. Macam-macam tikah pola penduduk desa. Ada yang menampakan raut sedih, sebagai ungkapan rasa ikut berduka cita. Ada yang biasa-biasa saja. Ada yang sibuk mengatur bangku-bangku, sibuk menyiapkan minuman, sibuk memasang tenda, bahkan di pojok sana terdengar suara ketawa tak tahu apa yang diobrolkan.
Dari kejadian itu, kiranya bisa menjadi pelajaran buat kita terlebih sang pemimpin. Banyak orang merasa kehilangan dan sedih manakala ketidakadaan dia benar-benar dirasakan oleh orang lain. Pemimpin yang membawa manfaat terlihat jelas pada saat ketidakadaan dia. Dia senantiasa memberikan keteledanan-keteladanan yang patut ditiru baik dalam perkataan terlebih perbuatan. Keteladanan positif adalah teguran dan ajakan yang paling santun dan bijaksana. Tidak setiap keteladanan berkonotasi positif, namun ternyata keteladanan juga ada yang besifat negatif. Tanpa disadari, pemimpin acap kali melakukan hal-hal yang seharusnya kurang tepat dilakukan seorang pemimpin, sehingga suatu saat dia mau menegur bawahannya tentang apa yang menjadi masalahnya, dia tidak berani melakukannya, karena dia sering melakukan itu. “ Beresin diri sendiri dulu dah, sebelum ngeberesin orang laen.” kata Haji Indun.
Beberapa hari setelah pemakaman H. Udin dan Sekdesnya, mulailah penduduk selebar kampung membicarakan tentang orang yang pantas menggantikan kedudukan Kades tersebut. Isu yang berkembang, mereka tidak mau dipimpin oleh orang luar kampung mereka. Masalahnya, masa tugas H. Udin masih lama yaitu sekitar 4 tahun lagi. “ Kita tolak aja kalau ditunjuk petugas sementara.” kata Bang Ujang. “ Orang sekolaan bilang, kerteker gitu !” Bang Ujang menambahkan.
Tak terkecuali di warung Nce Kokom, yang terkenal akan nasi uduk dan sambelnya dan yang kesohor juga teh pahit buatannya, Bang Ocid dan Bang Udi sejak pagi sudah nongkrong. Mereka sangat serius ngobrolin tentang orang yang pantes ngegantiin Pak Kades yang sudah almarhum itu. “ Gue sih enggak butuh pemimpin pinter, yang penting jujur.” kata Bang Ocid.” “ Sekarang, cari pemimpin yang pinter banyak, tapi yang jujur langka.” Bang Ocid menambahkan. “ Di samping jujur ditambah tahu agamalah sedikit.” “ Ya, rajin sholat lima waktu, gitu !” Bang Udi menimpali. “ Calon Kades kita perlu yang udah ke Mekah, enggak ?” “ Maksud gua dia udah Haji, gitu ?“ tanya Bang Ocid. ”Kalau haji yang mabrur, mungkin desa kita jadi berkah, nah kalau yang mardud, bagaimana ?” “ Bisa kiamat desa kita!” Bang Udi coba berpendapat.
Di tengah keseriusan mereka berdua sedang berbicara, datanglah Samsul, pemuda belasan tahun yang baru saja lulus SMA, coba nimbrung dan ikut dalam obrolan tersebut. “ Luh kan anak yang makan sekolaan, enggak kaya gua ?” “ Gua mau tanya sama eluh, kira-kira pemimpin yang baik, kaya apa ? “ tanya Bang Udi. “ Kalau menurut saya, yang lulus fit and proper test.” jawab Samsul. “ Gua enggak nyambung, kalau ngomong ama anak sekolaan.” celetuk Bang Ocid. “ Eluh pake bahasa yang gua ngerti, dah !” Bang Udi protes. “ Maksudnya, pemimpin itu harus memiliki kelayakan dan kepatutat,” Samsul coba menjelaskan. “ Layak itu apa dan patut itu apa ? “ tanya Bang Udi kesal. “Intinya, dia itu cocok dan memiliki kemampuan.” “ Oh ya, gua baru inget gua pernah nonton TV, yang ada di Bank Indonesia , itu kan ?” sergah Bang Ocid. “ Yah, pada saat pemilihan gubernur Bank Indonesia itu, di sana dilakukan uji fit and proper test.” Samsul coba menambahkan. “ Kalau pake gitu-gituan sih, kayanya susah dilaksanain, tuh .” “ Nanti yang nguji siapa dan ujung-ujungnya duit lagi ! “ Bang Udi coba beralasan. “ Ngomong yang pasti-pasti ajah dah, Sul !” Bang Udi menggerutu. “ Maaf Bang, saya udah ditunggu Babe di rumah, Assalamu’alaikum.” Samsul mengakhiri. “ Baru tamat SMA ajah, kita udah enggak ngerti apa yang dia omongin, bagaimana kalau dia jadi sarjana, bisa kita yang tua-tua di boongin.” keluh Bang Udi. “ Gua juga jadi bingung, sebenarnya yang pinter itu siapa, dia apa kita ?” tanya Bang Ocid sambil mengerutkan dahi.
Di warung Nce Kokom belum usai, ada lagi ribut-ribut datang dari rumah Nce Ita. Masalahnya sama, yaitu tentang siapa yang layak untuk menggantikan H. Udin, Kades yang sudah almarhum itu. Adalah sepasang suami-istri ... ( bersambung )
Oleh : Yasin ABetA
SMP Islam Al Azhar 4 Kemandoran
Artikel yang berada di hadapan pembaca saat ini adalah sebuah kisah jenaka yang diangkat dari cerita piktif, sungguh merupakan karya iseng dan spontan, manakala penulis berada di depan komputernya, tak terasa tangan digerakkan, terciptalah seonggok kisah sederhana ini.
Karena ketidakadabiayaan, sungguh sial nasib pemuda Betawi yang tinggal di pelosok paling selatan kota Jakarta, tepatnya di desa Aduhai, Kecamatan Mesem, tidak jauh dari rumah Kepala Desa, Haji Udin namanya, harus berhenti sekolah alias drop out kata orang sekarang. Sebenarnya dia terbilang anak yang patuh, rajin dan sedikit cerdas, terbukti dia selalu pergi mengaji setiap habis maghrib, suka membantu orang tuanya bekerja dan tidak pernah tinggal kelas.
Si Duleh terlahir dari 9 bersaudara. Dia adalah anak tertua. “ Kenapa orang tua gua enggak ikut KB?” “ Apa dia takut dosa atau dia pikir banyak anak banyak rejeki ?” tanya si Duleh dalam hatinya. “ Andai gua hanya dua bersaudara, mungkin nasib gua enggak seperti ini.” si Duleh menggerutu.
Cita-cita si Duleh kayanya sih enggak muluk-muluk. Dia hanya ingin jadi orang yang berguna bagi keluarga dan agamanya. Itulah jawaban yang diberikan seketika salah seorang temannya bertanya tentang cita-citanya. Jawabannya sangat standar kalau kata orang pinter. Kenapa cita-citanya enggak ditambah agar berguna untuk masyarakat, bangsa dan negaranya. Ya, seperti anak-anak lain kalau ditanya tentang cita-citanya, dijawab dengan lengkap agar berguna bagi keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara. “ Cita-cita begitu aja, belum tentu tercapai apalagi dipanjangin kaya gitu, makin susah aja ! “ celetuk si Duleh. “Cita-cita panjang dan lengkap sih boleh aja, tapi sama aja kita naruh bintang di langit ke tujuh”. “Bayangin coba, sulit kan ?” komentar si Duleh.
Si Duleh memang orang yang tahu diri. Dia tidak bercita-cita menjadi dokter, insinyur, pilot, tentara, manager, direktur, mentri apalagi presiden. “ Sehat dan panjang umur aja, udah Alhamdulillah.” “ Gua makan sering mutih, yaitu nasi putih dan air putih doang.” keluh si Duleh. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang sangat pas-pasan atau bisa terbilang keluarga yang layak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai yang dicanangkan pemerintah belakangan ini, sangatlah mustahil bercita-cita seperti yang disebutkan di atas. “ Makan singkong beneran rasanya jauh lebih enak dibanding makan roti, mimpi.” si Duleh mencoba berfalsafah.
Mengecam pendidikan sampai kelas 2 SMA, rupanya menjadi bekal yang sangat berharga untuk bergaul dengan teman sebayanya bila bercerita bagaimana suka dukanya kehidupan di sekolah. Sebenarnya, si Duleh tidak begitu suka mendengar gosip-gosip percintaan apalagi cerita-cerita yang berbau kemewahan yang sangat disukai oleh kebanyakan orang seusianya.. Dia lebih suka mendengarkan berita-berita politik., tidak seperti teman-teman seangkatannya yang lebih suka bercerita tentang indahnya masa remaja. Oleh karena itu, si Duleh lebih sering nongkrong bersama orang-orang yang usianya jauh lebih tua dari dia.
Kalau si Duleh sedang bercerita tentang perkembangan politik yang sedang in, sepertingya kita sedang berhadapan dengan Andy Malarangeng, seorang jubir presiden itu loh. Orangnya ganteng ditambah lagi dengan kumis hitamnya yang tebal dan konon sangat disukai oleh artis Dorce Gamalama. Ya, begitulah si Duleh. Kalau dia mulai bicara politik, seharian dia jabanin. Gaya bicaranya mantep, dibumbui dengan dalil-dalil teori yang sangat argumentatif. Ketika mendengar dia berbicara benar-benar terkesima dibuatnya. Kalau anak sekarang bilang titik komanya jelas banget.
Si Duleh memang pemuda yang aneh. Begitu banyak informasi politik yang masuk ke kapalanya. Mungkin inilah kelebihannya, dia bisa mendapatkan informasi begitu banyak sedangkan sekolah aja enggak selesai, apalagi sampai jadi mahasiswa. Di samping itu dia juga tidak pernah berlangganan koran. Televisi apalagi, wong makan sehari-hari saja jarang pakai lauk. Kecuali radio butut yang selalu menemani pada saat kesendiriannya. Kesehariannya, dia habiskan untuk ngobrol dari satu tempat ke tempat lainnya. Tongkrongan tetapnya di kios koran yang berada tidak jauh dari rumahnya. Di tempat itulah, dia habiskan waktunya dengan membaca berbagai jenis koran dan majalah. Bang Udin, si empunya kios koran sangat senang bila si Duleh berada bersamanya. “ Satu hari saja si Duleh enggak dateng, sepertinya ada yang kurang .” kata Bang Udin.
Sebenarnya si Duleh ingin bekerja, tetapi siapa yang mau terima. Dia hanya punya ijazah SMP doang. Pengalaman kerja belum ada. Koneksi, apalagi uang untuk pelicin boro-boro. Hidupnya memang sangat memprihatinkan. Bapaknya pekerja serabutan, kadang kerja kadang enggak. Lebih banyak enggaknya kebanding kerjanya. Ibunya sakit-sakitan. Namun demikian, pada saat ibunya sehat sekali-kali ibunya kuli mencuci di rumah kampung sebelah untuk menutupi sebagian kecil kebutuhan keluarganya.
Si Duleh bukanlah satu-satunya keluarga yang mengalami nasib kurang beruntung, akan tetapi masih ada jutaan keluarga lainnya yang nasibnya seperti dia. Si Duleh tidak pernah neko-neko. Orangnya sangat jujur dan tidak minder. Dia jalani hidupnya seperti mengalirnya air. Sifat air adalah selalu mencari tempat yang lebih rendah. Dia selalu bersyukur dengan apa yang dia dapatkan. Tampaknya, karunia sehat yang selama ini dianugerahkan oleh-Nya sudah cukup buat dia dan keluarganya. Bukan berarti si Duleh tidak membutuhkan materi. “ Buat apa harta berlimpah kalau badan enggak sehat ?” si Duleh coba menghibur.
Si Duleh sangat aktif dalam setiap kegiatan di desanya. Kerja bakti membersihkan got, membangun jalan, membangun musholla, perayaan tujuh belasan, sampai perayaan keagamaan, semisal ; Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Lebaran Yatim, Nuzulul Qur’an, peranan si Duleh sangatlah menonjol. Sumbangan pemikiran dan tenaga, si Duleh lah orangnya. Namun, urusan sumbangan materi, jangan ditanya. Bukan karena kikir alias pelit, memang itulah kelemahan si Duleh. “ Bersedekah enggak mesti dalam bentuk harta, akan tetapi bisa dalam betuk tenaga, pikiran bahkan senyum terhadap saudaramu, itu sudah termasuk bersedekah.” Si Duleh berusaha mengutip perkataan ustadz di pengajian bulan lalu.
Saat ini si Duleh sedang sibuk mendata warga yang layak menerima Raskin kepanjangan dari beras miskin dan mendata ulang warga yang layak mendapatkan BLT alias Bantuan Langsung Tunai. Dengan kenaikan harga BBM sekitar 28 persen lebih, tak hayal jumlah penduduk miskin di desa dimana si Duleh tinggal mengalami penambahan jumlah yang cukup signifikan. Pemerintah menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk hidup hemat. “ Badan kita udah kurus, lalu disuruh kencangkan ikat pinggang, mau jadi apa kita ini?” si Duleh coba membantah.
Pendistribusian Raskin di desa si Duleh belakangan ini, mengalami ketidaklancaran alias enggak beres. Kejadian itu sudah tercium oleh petugas yang memantau secara langsung ke desa-desa dengan melakukan dialog pada setiap warga yang tercatat sebagai warga yang terdaftar untuk menerima Raskin. Ada warga yang menerima Raskin setiap bulan, dua bulan, tiga bulan, bahkan ada yang terima baru sekali. Demikian pula pendistribusian BLT, warga yang sebenarnya tidak layak, diberikan, sementara yang sangat layak tidak diberikan. “ Yang tidak layak itu, kebanyakan dari keluarganya pak RT.” “ Itu sih namanya, KKN ?” Bang Somad nyeletuk.
Akibat kejadian itu, seluruh kepala desa diundang ke kantor kecamatan. H. Udin kepala desa dimana si Duleh tinggal, tak terkecuali. Pakades datang ke kacamatan didampingi oleh Sekdes karena dialah yang tahu percis dan mencatat segala tetek bengek laporan yang terjadi di desanya. Dari data-data yang dikumpulkan oleh petugas tentang pendistribusian Raskin dan BLT dari seluruh desa penerima program tersebut, ditemukan kejanggalan. H. Udin sangat sok, kalau di desanya juga ditemukan laporan yang dibelokan alias tidak sesuai dengan kenyataan. Jumlah uang yang dikuncurkan selama ini tidak sesuai dengan pendistribusian. Datanya Aspal, asli tapi palsu. Mungkin kalau kata Sri Mulyani yang mentri keuangan itu, “ terjadi mark up.”
H. Udin yang sudah 3 kali bolak-balik Mekah, harus kecewa pada bawahannya yang selama ini ABS, Asal Bapak Senang. Setiap laporan yang ada di atas mejanya langsung ditandatangani tanpa harus membaca terlebih dahulu. Setelah rapat di kecamatan usai, dengan wajah memerah H. Udin menghampiri Sekdesnya. “ Kenapa bisa terjadi seperti ini?” “ Eluh bener-bener mau kejeblosin gua ke penjara !” “ Mau taroh di mana muka gua ?” H . Udin terus memaki. Cekcok omong terus berlangsung sampai perjalanan pulang mereka. Mereka hanya berdua di dalam mobil, H. Udin dan Sekdesnya sehingga tidak ada penengah.
Mobil yang dikendarai oleh Sekdes dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba oleng tidak terkendali. Dalam keadaan emosi injakan gas tidak terkontrol, demikian pula posisi stir yang tidak karuan. Dari arah berlawan muncul truk gandeng membawa ratusan sack semen yang beratnya ratusan ton. Bisa dibayangkan apa yang terjadi. Masya Allah, terjadilah kecelakaan yang sangat mengerikan. H. Udin dan Sekdesnya seketika menemui ajalnya. Mereka menemui Sang Penciptanya dengan cara yang mengenaskan. Mobilnya hancur tak berbentuk. Itulah takdir, tak satupun mahluk di dunia ini tahu dan mampu untuk menolaknya. Semua itu sudah keputusan Allah. Kita hanya bisa berdoa semoga diakhir hayat kita dalam keadaan khusnul khotimah. Amin.
Tak berselang lama, kabar tentang kecelakaan yang menimpa H. Udin dan Sekdesnya menyebar ke seluruh penduduk desa. Di kantor desa dan di rumah kepala desa ramai oleh para penduduk desa yang sedang menanti datangnya jenazah mereka. Macam-macam tikah pola penduduk desa. Ada yang menampakan raut sedih, sebagai ungkapan rasa ikut berduka cita. Ada yang biasa-biasa saja. Ada yang sibuk mengatur bangku-bangku, sibuk menyiapkan minuman, sibuk memasang tenda, bahkan di pojok sana terdengar suara ketawa tak tahu apa yang diobrolkan.
Dari kejadian itu, kiranya bisa menjadi pelajaran buat kita terlebih sang pemimpin. Banyak orang merasa kehilangan dan sedih manakala ketidakadaan dia benar-benar dirasakan oleh orang lain. Pemimpin yang membawa manfaat terlihat jelas pada saat ketidakadaan dia. Dia senantiasa memberikan keteledanan-keteladanan yang patut ditiru baik dalam perkataan terlebih perbuatan. Keteladanan positif adalah teguran dan ajakan yang paling santun dan bijaksana. Tidak setiap keteladanan berkonotasi positif, namun ternyata keteladanan juga ada yang besifat negatif. Tanpa disadari, pemimpin acap kali melakukan hal-hal yang seharusnya kurang tepat dilakukan seorang pemimpin, sehingga suatu saat dia mau menegur bawahannya tentang apa yang menjadi masalahnya, dia tidak berani melakukannya, karena dia sering melakukan itu. “ Beresin diri sendiri dulu dah, sebelum ngeberesin orang laen.” kata Haji Indun.
Beberapa hari setelah pemakaman H. Udin dan Sekdesnya, mulailah penduduk selebar kampung membicarakan tentang orang yang pantas menggantikan kedudukan Kades tersebut. Isu yang berkembang, mereka tidak mau dipimpin oleh orang luar kampung mereka. Masalahnya, masa tugas H. Udin masih lama yaitu sekitar 4 tahun lagi. “ Kita tolak aja kalau ditunjuk petugas sementara.” kata Bang Ujang. “ Orang sekolaan bilang, kerteker gitu !” Bang Ujang menambahkan.
Tak terkecuali di warung Nce Kokom, yang terkenal akan nasi uduk dan sambelnya dan yang kesohor juga teh pahit buatannya, Bang Ocid dan Bang Udi sejak pagi sudah nongkrong. Mereka sangat serius ngobrolin tentang orang yang pantes ngegantiin Pak Kades yang sudah almarhum itu. “ Gue sih enggak butuh pemimpin pinter, yang penting jujur.” kata Bang Ocid.” “ Sekarang, cari pemimpin yang pinter banyak, tapi yang jujur langka.” Bang Ocid menambahkan. “ Di samping jujur ditambah tahu agamalah sedikit.” “ Ya, rajin sholat lima waktu, gitu !” Bang Udi menimpali. “ Calon Kades kita perlu yang udah ke Mekah, enggak ?” “ Maksud gua dia udah Haji, gitu ?“ tanya Bang Ocid. ”Kalau haji yang mabrur, mungkin desa kita jadi berkah, nah kalau yang mardud, bagaimana ?” “ Bisa kiamat desa kita!” Bang Udi coba berpendapat.
Di tengah keseriusan mereka berdua sedang berbicara, datanglah Samsul, pemuda belasan tahun yang baru saja lulus SMA, coba nimbrung dan ikut dalam obrolan tersebut. “ Luh kan anak yang makan sekolaan, enggak kaya gua ?” “ Gua mau tanya sama eluh, kira-kira pemimpin yang baik, kaya apa ? “ tanya Bang Udi. “ Kalau menurut saya, yang lulus fit and proper test.” jawab Samsul. “ Gua enggak nyambung, kalau ngomong ama anak sekolaan.” celetuk Bang Ocid. “ Eluh pake bahasa yang gua ngerti, dah !” Bang Udi protes. “ Maksudnya, pemimpin itu harus memiliki kelayakan dan kepatutat,” Samsul coba menjelaskan. “ Layak itu apa dan patut itu apa ? “ tanya Bang Udi kesal. “Intinya, dia itu cocok dan memiliki kemampuan.” “ Oh ya, gua baru inget gua pernah nonton TV, yang ada di Bank Indonesia , itu kan ?” sergah Bang Ocid. “ Yah, pada saat pemilihan gubernur Bank Indonesia itu, di sana dilakukan uji fit and proper test.” Samsul coba menambahkan. “ Kalau pake gitu-gituan sih, kayanya susah dilaksanain, tuh .” “ Nanti yang nguji siapa dan ujung-ujungnya duit lagi ! “ Bang Udi coba beralasan. “ Ngomong yang pasti-pasti ajah dah, Sul !” Bang Udi menggerutu. “ Maaf Bang, saya udah ditunggu Babe di rumah, Assalamu’alaikum.” Samsul mengakhiri. “ Baru tamat SMA ajah, kita udah enggak ngerti apa yang dia omongin, bagaimana kalau dia jadi sarjana, bisa kita yang tua-tua di boongin.” keluh Bang Udi. “ Gua juga jadi bingung, sebenarnya yang pinter itu siapa, dia apa kita ?” tanya Bang Ocid sambil mengerutkan dahi.
Di warung Nce Kokom belum usai, ada lagi ribut-ribut datang dari rumah Nce Ita. Masalahnya sama, yaitu tentang siapa yang layak untuk menggantikan H. Udin, Kades yang sudah almarhum itu. Adalah sepasang suami-istri ... ( bersambung )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar