WISATA SPIRITUAL SARAT MAKNA
Masjid Nabawi dan Masjid Haram
Oleh.M. Yasin Marjaya
Guru SMP Islam Al Azhar 4 Kemandoran
Tidak bermaksud riya, apalagi menyombongka diri. Ini adalah sekedar ungkapan rasa syukur, berbagi kebahagiaan dan pengalaman, atas apa yang telah dilimpahkan Allah kepada penulis yang maha memiliki keterbatasan dan kekurangan di sana sini. Dan rasanya, pengalaman yang satu ini tidak akan pernah terlupakan hingga jasad terpisah dari ruh. Sungguh mengesankan, mengharukan, mendebarkan, menyenangkan, menakjubkan, mengasikan, dan berbagai perasaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, kecuali ucapan syukur yang sebesar-besarnya dan kepada para pembaca agar di berikan kesempatan oleh Allah sehingga bisa merasakan apa yang penulis rasakan saat ini.
Tahun 1428 Hijriah merupakan tahun penuh kenangan dan amat berkesan bagi penulis, karena pada saat itu, penulis diberikan kesempatan oleh Allah melaksanakan ibadah haji, menjadi duyyufurrahmah. “ Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu segala nikmat dan kekuasaan hanya milik-Mu.” Berkunjung ke Baittullah, melihat secara langsung bentuk fisik kota Madinah yang di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang sangat dibanggakan oleh seluruh umat Islam seluruh dunia, yaitu ; Masjid Nabawi. Lalu, kota Mekah yang di dalamnya pula terdapat sebuah bangunan yang sangat monumental, begitu melihatnya tak terasa air mata mengalir dengan derasnya, yaitu ; Masjid Haram yang di tengahnya terdapat bangunan berbentuk kubus yang ditutup dengan kain hitam bertuliskan ayat-ayat Al-qur’an, yaitu ; Ka’bah, arah sujud seluruh umat Islam dunia dalam shalat.
Wisata Spiritual Sarat Makna, itulah judul tulisan ini. Penggunaan kata “wisata “ yang dimaksudkan oleh penulis bukanlah merupakan suatu kegiatan bersenang-senang semata atau hanya berpoya-poya sebagaimana wisata yang kita kenal selama ini, namun wisata yang penulis maksudkan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan penuh suka cita dan bagi yang mengalaminya akan selalu ingin melakukannya lagi dan lagi atau berkali-kali. Namun jangan beranggapan pula bahwa ibadah haji sama dengan wisata, bukan itu yang dimaksud penulis. Ini semata-mata untuk menarik minat pembaca untuk melirik tulisan ini. Wisata ke puncak, ke Jogya, ke Bali, ke Lombok atau ke luar negeri sekalipun, tidak akan sama dengan maksud judul tulisan ini, karena memang tidak pernah akan sama. Linangan air mata dari sanak keluarga mengantarkan kepergian kita, orang-orang dekat dan para tetangga berduyun-duyun melepaskan kita, mereka memeluk kita, sambil berbisik di telinga kita untuk minta didoakan, salamatan atau walimatussafar juga diselenggarakan menjelang keberangkatan kita.
Melalui wisata ini, Insya Allah benar-benar menjadikan diri kita amat dekat pada Sang Pencipta, Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Besar, diri kita amat kecil di hadapan-Nya, dan tidak berarti apa-apa. Bagaikan setitik debu yang menempel di hamparan muka bumi yang amat luas, diri kita begitu sangat dan sangat kecil. Kekayaan, jabatan, harta, ilmu pengetahuan, harga diri yang selama ini dikejar-kejar bagaikan fatamorgana, semakin diminum semakin haus bagai minum air laut, syahwat dunia dan nafsu setan terus saja menggerogoti jiwa kita, sudah punya satu ingin dua, singkatnya tidak pernah berhenti atau selesai, begitulah naluri manusia. Setan akan menggoda kita dari samping, depan dan belakang sampai kita tak berdaya. Oleh karena itu, melalui wisata spiritual ini kiranya akan menjadi charger keimanan seseorang yang kian hari kian meredup, atau agar mendapat asupan gizi yang sangat dibutuhkan oleh rohani kita sehingga keberadaan keimanan kita tetap bersemayam di dada dengan kokoh dan tidak tergoyah oleh rintangan apapun dan halangan bagaimanapun yang menghadang.
Gambaran fisik Masjid Nabawi dan Masjid Haram
“ Subhannallah “ itulah ucapan yang meluncur lewat lidah penulis ketika untuk yang pertama kalinya melihat masjid Nabawi di kota Madinah dan Masjid Haram di kota Mekah. Kedua bangunan ini benar-benar megah dan mencengangkan bagi yang melihatnya. Ukurannya sangat besar dan luas dengan arsitektur yang sangat canggih. Hampir seluruh dinding dan lantainya dilapisi dengan marmer. Bagian dalam, khususnya tiang-tiangnya dihiasi dengan lampu-lampu dan tulisan kaligrafi yang sangat indah. Kedua masjid ini sangat sejuk karena di setiap sudut atau tiang-tiang masjid di pasang alat pendingin. Masjid ini tampak lebih anggun, manakala dilihat pada malam hari, karena dihiasi dengan cahaya lampu yang sangat menawan baik di dalam atau di luar masjid. Masjid ini juga dilengkapi dengan sound system yang super canggih, tidak pernah sekalipun terjadi storing atau rusak, di manapun kita berada bacaan imam terdengan jelas bahkan desahan suara imam nyaris terdengar. Petugas kebersihan siap 24 jam, mereka menggunakan alat pembersih super cepat, setiap detik kebersiahan masjid terpantau, wajar saja kalau tidak ada kotoran yang menempel sedikitpun. Untuk masjid Nabawi, seluruh lantai bagian dalam di lapisi dengan hambal berwarna merah bercampur krem yang cukup tebal dan lembut kecuali bagian raudah dengan hambal berwarna hijau. Hampir seluruh bangunan masjid Nabawi tertutup atap, namun ada beberapa bagian pada waktu tertentu terbuka dan tertutup, mungkin maksudnya adalah agar terjadi sirkulasi udara karena bangunan begitu besar dan luas. Buka dan tutupnya atap masjid ini, menggunakan teknologi yang super moderen. Payung dengan ukuran besar mengembang begitu indah sehingga menutup bagian yang terbuka, kubah-kubah masjid dapat digerakan dengan kekuatan tenaga listrik sehingga bagian yang terbuka pun tertutup dengan seketika. Sementara itu, untuk masjid Haram sebagian tidak beratap atau terbuka, terutama bagian masjid yang di dalamnya terletak Ka’bah. Masjid Haram ataupun masjid Nabawi tidak dilengkapi dengan kubah yang besar sebagaimana masjid-masjid di Indonesia, namun bangunan itu dilengkapi dengan beberapa menara yang cukup tinggi. Berdiam di dalam masjid tidak terasa walaupun sudah berjam-jam, karena tempat itu sangat kondusif untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ingin membaca Al-Qur’an, tinggal mengambilnya di rak-rak yang ada di setiap tiang masjid, ribuan Al-qur’an berjejer di sana. Merasa haus, tinggal ambil air zamzam karena di situ disediakan ratusan gentong air zamzam yang terdapat di banyak tempat layaknya rak Al-Qur’an. Mau Air zamzam dingin atau tidak dingin disitu tersedia, gelasnya tersedia cukup banyak dan dibuang sehabis dipakai, lalu petugas menggantinya dengan gelas yang baru, begitulah setiap saat. Rak-rak penitipan sepatu atau sandal juga tersebar di banyak tempat dengan bentuk dan penataan yang indah serta diberi nomor. Masjid ini dapat menampung jutaan jamaah, khususnya dimusim haji. Bagi jamaah yang penginapannya jauh dari masjid Haram disiapkan alat transportasi yang dapat mengantarkan jamaah hingga ke pintu gerbang masjid lewat terowongan tepat di bawah masjid Haram Di masjid ini pula disiapkan escalator baik untuk menuju ke lantai atas ataupun turun ke kamar mandi untuk berwudhu atau buang air. Demikian pula di masjid Nabawi untuk menuju ke kamar mandi disiapkan escalator Di masjid Nabawi jamaah wanita di pisah dengan jamaah laki-laki, sementara di masjid Haram tidak dipisah karena jumlah jamaah begitu amat banyak. Ketika memasuki masjid, pengawasan dan pemeriksaan para askar atau petugas biasanya bersorban merah untuk jamaah laki-laki dan pakaian serba hitam bercadar untuk jamaah wanita begitu ketat terlebih pada jamaah wanita, jangan coba-coba membawa kamera atau barang-barang yang tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah. Hal itu wajar, karena masalah keamanan merupakan hal pokok dan salah satu tolok ukur keberhasilan, khususnya keberhasilan pelaksanaan musim haji tahun ini dan sebagai pertimbangan untuk musim haji tahun-tahun berikutnya. Seluruh dunia muslim akan memantau itu semua. Oleh karena itu, pemerintah Arab Saudi mengerahkan segala kemampuannya agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal bagi para tamu Allah.
Sejujurnya masih banyak keistimewaan yang penulis ingin paparkan, namun dari sekian keistimewaan yang penulis dapat uraikan, tentunya tidak ada gading yang tak retak, ada satu yang menjadi ganjalan penulis sampai saat ini. Pada saat di Madinah, jarak penginapan penulis dengan masjid Nabawi sekitar 3 km, dan penginapan di Mekah sekitar 1 km dengan masjid Haram. Dan untuk yang pertama kalinya pula penulis beserta rombongan berjalan menuju ke masjid tersebut dengan melewati gedung-gedung pencakar langit. Sambil berjalan dengan diliputi perasaan keingintahuan yang sangat dan sambil pula membayangkan tentang bagaimana bentuk masjid yang selama ini diidam-idamkan, benar-benar sudah tidak tertahankan lagi. Sebagaimana seorang pemuda yang sedang kasmaran yang ingin berjumpa dengan pujaan sang buah hati. Hotel demi hotel telah dilewati, tak terasa penulis sudah berada di pintu gerbang masjid, ternyata benar adanya seperti yang penulis telah uraikan di atas.
Sungguh amat disayangkan, bangunan yang menjadi kebanggaan seluruh umat Islam dunia, baru bisa kita lihat dan kita nikmati apabila sudah benar-benar dekat dengan mata kepala kita. Alangkah indah dan eloknya bila masjid kebanggaan seluruh umat Islam dunia ini sudah tampak dari radius sekian kilo meter, sehingga menara masjid yang tinggi dan gagah itu sudah kita saksikan dan kita nikmati dari kejauhan. Bangunan-bangunan pencakar langit yang berdiri sangat dekat dan mengitari hampir seluruh bangunan masjid benar-benar mengurangi kemegahan dan kegagahannya. Dan yang lebih menyedihkan lagi, gedung-gedung pencakar langit tersebut dilengkapi dengan pusat-pusat perbelanjaan, mal-mal, restoran, taman rekreasi, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Dan sudah barang tentu, ini semua akan mengganggu kekusyu’an dan kekhidmatan jama’ah dalam beribadah. Kalau pertimbangannya bisnis, rasanya semuanya tahu bahwa Arab Saudi adalah negara kaya yang memiliki sumber investasi yang cukup banyak khususnya minyak bumi. Oleh karena itu, usaha yang mereka lakukan hendaknya tidak mengorbankan para jamaah yang ingin beribadah, mereka datang jauh-jauh dari berbagai negara dengan biaya yang cukup mahal, harus kecewa dengan situasi yang demikian.
Al Hamdulillah, belakangan ini kita dengar, ada rencana perluasan masjid Haram ratusan hektar, yang sudah direstui oleh raja Arab Saudi, yang diperkirakan akan meruntuhkan sejumlah hotel-hotel di sekitar masjid. Kalau ini benar-benar terealisasi, sungguh merupakan solusi yang sangat tepat, dan tentunya sangat menggembirakan untuk seluruh umat Islam dunia, khususnya umat Islam Indonesia. Dengan demikian, permohonan yang selama ini diusulkan, yaitu ; untuk menambah kuota jamaah haji, khususnya jamaah Indonesia, Insya Allah akan dikabulkan. Dan kalau boleh diusulkan perlu juga dipikirkan tentang penambahan kamar mandi dan tempat wudhu yang jumlahnya lebih memadai, khususnya untuk mengantisipasi kebutuhan jamaah musim haji.
Uniknya Beribadah di Masjid Nabawi dan Masjid Haram
Saat penulis menginjakan kakinya untuk yang pertama kali, baik di Masjid Nabawi Madinah maupun di Masjid Haram Mekah, terdengan dua kata yang sangat popular ditelinga penulis, yaitu ; kata haji dan hajjah. Haji adalah panggilan kehormatan untuk jamaah laki-laki, sedangkan hajjah adalah panggilan kehormatan untuk jamaah perempuan. Terlepas jamaah itu sudah haji atau belum, yang pasti setiap jamaah memperoleh gelar kehormatan tersebut. Terus terang, penulis merasa canggung, mungkin juga jamaah lainnya, karena kami merasa belum melaksanakan rukun dan wajib haji. Gelar kehormatan ini, sering diucapkan oleh askar atau petugas keamanan masjid pada saat merapihkan shaf shalat, melarang duduk berdampingan dengan lawan jenis, memasuki area lawan jenis, antrean masuk ke raudhah, mengatur jamaah yang melaksanakan tawaf, mengatur jamaah yang berebut mencium Azwar Aswad, meletakan sandal dan sepatu, dibersihkannya area masjid, terlebih lagi pada saat pemeriksaan jamaah yang hendak masuk ke masjid.
Untuk yang pertama kalinya pula, sepanjang hidup penulis, yang selama ini shalat selalu menghadap ke barat, sebagaimana orang-orang Indonesia lainnya, ternyata pada saat berada di Masjid Nabawi atau sekitar kota Madinah, “ Subhannallah” penulis menghadap ke selatan sebagai arah kiblat dalam shalat. Dan yang lebih menarik lagi, penulis bisa berubah-ubah arah kiblat dalam shalat yaitu, pada saat berada di Masjid Haram, tergantung dari arah mana penulis masuk. Suatu ketika penulis menghadap ke selatan, ke barat, ke utara, ke timur, bahkan serong karena memang letak Ka’bah tepat berada di tengah Masjid Haram. Di mana Ka’bah berada di situlah seluruh umat Islam harus tunduk untuk menjadikannya itu sebagai kiblat dalam melaksanakan shalat.
Budaya sopan santun atau keramahtamahan yang merupakan ciri khas orang timur, seakan sirna terkontaminasi dengan budaya yang berlaku di Masjid Nabawi dan Masjid Haram. Ketika di Indonesia kita saling bersalaman dengan orang yang berada di kiri, kanan, belakang dan depan kita pada saat sehabis shalat berjamaah, di sana benar-benar nyaris tidak tampak, walaupun terkadang di sebelah kiri kanan kita adalah jamaah dari Indonesia. Antara jamaah begitu bebas melangkahi bahu-bahu mereka yang berada di depannya, hanya demi memperoleh shaf shalat, sehingga beberapa kali penulis mengalami langsung kejadian tersebut. Suatu ketika bahu sampai dengan kepala penulis di dorong bahkan hampir terinjak pada saat sujud, dan yang lebih menarik lagi yang mendorong dan melangkahi bahu-bahu jamaah adalah jamaah wanita yang postur tubuhnya sangat besar dan tinggi. Dan kebanyakan mereka berasal dari benua Afrika yang mayoritas berkulit hitam.
Pemakaian masker atau penutup hidung sangatlah diperlukan. Alat itu tidak saja dipergunakan untuk memfilter udara yang masuk ke rongga pernapasan kita, karena udara di sana berdebu, namun dapat pula dipergunakan untuk membebaskan kita dari bau yang tak sedap, maaf jamaah yang berada di sekitar kita ... ( bersambung )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar